Sabtu, 14 Januari 2023

Gadis Dalam Kotak Imaji

 



Aku terpana menatap sosok yang berdiri di teras rumah sederhanaku. Bergamis lebar dengan khimar panjang yang berkibar tertiup embusan angin sore berbau petrichor setelah hujan siang tadi. Sebentuk senyum yang terasa tidak asing, terukir di bibir tipisnya. Gadis itu mengulurkan kedua tangan dan menghambur ke pelukanku. Isaknya terdengar sendu. Saat ia melepaskan pelukan, tangan kananku diraih dan diciumnya dengan takzim.

            Pikiranku masih belum mampu mengingat sosok yang kutaksir berumur sekitar dua puluh tahunan itu. Aku yakin, dia adalah salah satu dari ratusan murid yang pernah kudidik selama lebih dari tiga puluh tahun mengajar di sebuah sekolah negeri tingkat dasar di kota ini. Jelang lima puluh tahun usiaku, tidak semua nama dan wajah dapat kuingat dengan baik.

            “Miss, ini Sherin. Miss masih ingat aku?” Gadis itu mencoba menggali memoriku.

            “Sherin …? Sherin Aulia Putri?” tanyaku sambil memasang kacamata plus-ku.

             Anggukan disertai senyuman itu, langsung mengingatkanku pada sosok kecilnya belasan tahun silam, saat aku menjadi wali kelasnya di kelas satu.

            “MasyaAllah, Sherin, apa kabar?” tanyaku takjub.

            “Alhamdulillah, baik, Miss."

            "Kamu tinggal di mana sekarang," tanyaku penasaran.

         "Aku sekarang tinggal di Den Haag. Selepas menempuh pendidikan master di Belgia, aku jadi halal auditor untuk processed food di Belanda. Mumpung liburan, aku sempatin nengokin Miss Wina. Aku kangen, Miss,” ujar Sherin.

“Sekalian mau ngasih ini ….” Diangsurkannya brosur sebuah travel perjalanan haji dan umroh. Aku menatapnya ragu. Sherin tersenyum mengangguk. “Hadiah umroh buat Miss Wina dan suami.” 

Aku tergugu, seakan tidak percaya dengan pendengaranku.

***

"Miss, aku enggak mau nulis. Capek!" Sebuah suara memelas terdengar dari arah belakangku. Belum sempat aku memberikan reaksi, tiba-tiba sang pemilik suara sudah bergelayut manja di punggungku. Lengan panjangnya merangkul sekeliling leher membuat aku sedikit kesulitan bernapas.

Aku terdiam sesaat. Kalau sudah begini, tumpukan koreksian penilaian harian di atas meja harus menunggu untuk diselesaikan. Kulepaskan rangkulannya dan kutunjuk kursi kosong di depanku menyuruhnya duduk. Gadis kecil berseragam putih merah itu menurut dengan sedikit memberengut sambil merapikan anak-anak rambut yang menyeruak di balik kerudung putih. Sesekali ia menyusut ingus dengan punggung tangan. Semburat merah di pipi chubby itu sangat menggemaskan. Mata belok-nya mengerjap jenaka menatapku. Apalagi maksudnya kalau bukan ingin membujukku agar membebaskannya dari tugas menulis yang tidak disukainya. Dia tidak peduli teriakan teman-teman sekelas yang menyuruh untuk segera duduk menyelesaikan tugas di bangkunya.

Aku tersenyum melihat polahnya. Sherin, gadis kecil ini membutuhkan perhatian lebih dibanding murid-murid lain di kelasku. Di balik wajah lucu itu, tersimpan nestapa yang sangat dalam pada usianya yang baru melewati angka delapan. Ah, apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu tetap bertahan dalam keterbatasan, Anak manis? batinku.

Baru di pertengahan semester kedua ini, ibunda Sherin datang untuk memberitahukan pihak sekolah perihal tes ADOS (The Autism Diagnostic Observasion Schedule) yang dijalani gadis itu beberapa tahun terakhir. Hasil tes tersebut menyatakan bahwa muridku itu seorang Aspie atau penyandang sindrom Asperger. Penjelasan ibunya membuka mataku tentang semua gejala yang ditunjukkan Sherin selama ini. Gadis dengan IQ tinggi seperti dia, seharusnya dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Akan tetapi, sampai akhir kelas satu ini, dia bahkan belum bisa menulis. Tahun lalu, Sherin bahkan tidak naik ke kelas dua karena saat itu banyak faktor yang menyebabkan aku memutuskan untuk mempertahankannya di kelas satu. Belum lagi sikap anti sosial yang ditunjukkannya, membuat gadis kecil itu sering menjadi bahan olok-olokan teman-teman dan kakak kelas.

Atas masukan yang kuberikan, akhirnya Bu Sumarni, kepala sekolah tetap mempertahankan Sherin di kelasku. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit aku mulai belajar mengenai sindrom yang disandangnya, agar tidak salah dalam menangani Sherin. Bagiku dia bukan sekadar murid, tetapi juga guru yang mengajarkan banyak hal baru padaku sebagai seorang pendidik. Meskipun hari-hari bersamanya di sekolah penuh dengan kejadian menegangkan dan situasi tak terduga.

***

Kupercepat langkah menuju kelas. Tenezi berlari di samping mengimbangi ayunan kakiku yang nyaris melayang. Laporan singkat bocah lelaki ini memaksaku memutus percakapan dengan tamu, beberapa orang mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi yang baru kulayani sekitar lima belas menit yang lalu. Suara riuh rendah teriakan anak-anak perempuan ditingkahi bunyi telapak kaki berlarian kian kemari semakin menggegasku.

Pintu kelas terbuka dan mataku tertancap pada sebuah pemandangan mengerikan. Sherin sedang menghunuskan pensil panjang dan runcing di tangan kanannya ke wajah Alka, seorang bocah lelaki dengan perawakan kecil. Beruntung, tangan kiri Alka menahan laju pensil itu sementara sebuah buku ensiklopedi tentang dinosaurus menjadi bahan rebutan mereka.

Seakan lupa bernapas aku menghambur merebut pensil itu dari tangan Sherin. Monster demon sedang menguasai gadis kecil itu, hingga pensil di tangannya terasa begitu sulit untuk dilepaskan. Seketika aku peluk tubuh yang sedang menegang kaku itu. Pensil berhasil kusita, tetapi berakhir dengan lengking teriakan putus asa yang keluar dari mulut Sherin.

"Itu buku akuuuu!" Telunjuk Sherin mengarah pada buku yang dipegang Alka.

“Ini punyaku!” Alka berhasil lolos dan membawa lari buku itu ke pojok kelas. Tak tinggal diam Sherin sukses melepaskan diri dari rangkulanku dan melesat mengejar Alka untuk memperjuangkan buku kegemarannya itu.

Oh Tuhan, ini salahku. Seharusnya tadi aku menyediakan lebih dari satu buku semacam itu di pojok baca kelas. Sebagai penyandang Asperger Disorder, dengan kecerdasan yang biasanya ada pada great rata-rata ke atas, Sherin memiliki minat yang sangat tinggi pada buku terutama yang bersifat ingatan pada satu kategori. Buku tentang klasifikasi hewan yang menggunakan nama-nama latin seperti buku dinosaurus itu adalah salah satunya. Tak heran jika ia meradang saat Alka berusaha merebut buku tersebut dari tangannya.

Kupisahkan kedua anak itu sekuat tenaga. Dengan sedikit memaksa Sherin kubawa ke ruang guru. Wajah gadis kecil itu meringis, napasnya memburu menahan amarah. Beberapa saat kemudian ia berangsur tenang setelah aku memberikan buku dinosaurus yang dibawakan Bu Anita. Guru BK sekolah itu tadi memang kuminta untuk segera mencarikan buku serupa di perpustakaan sekolah.

Penanganan Sherin kuserahkan pada Bu Anita. Aku bergegas ke kelas. Ada dua puluh enam anak lain yang harus segera kutenangkan setelah huru-hara ini. Kurutuki kekeliruanku meninggalkan kelas meski hanya lima belas menit tanpa meminta bantuan guru piket. Namun. tugas tambahanku sebagai kepala bidang kesiswaan juga menuntutku untuk melayani tamu pagi ini. Untungnya, Bu Sumarni bersedia melanjutkan diskusi dengan para mahasiswa itu.

Sungguh tak kukira, kegiatan rutin membaca buku di pojok baca kelas selama lima belas menit sebelum pembelajaran dimulai pagi ini berakhir dengan kericuhan yang hampir saja memakan korban. Aku begidik membayangkan nasib wajah Alka di ujung pensil runcing itu andai aku terlambat satu menit saja.

***

“Miss, Sherin tadi ngamuk karena diledekin anak-anak cowok kelas lima,” lapor Daffi. Pelajaran sesudah istirahat baru saja akan kumulai.

“Memangnya ada apa, Daf?” tanyaku penuh selidik.

“Sherinnya ngoceh terus soal pesawat yang barusan lewat, jenis pesawatnya lah, kecepatannya lah. Mana tangannya digoyang-goyangin melulu. Jadinya diledekin deh, sama kakak-kakak itu. Sherin jadi nangis, terus langsung lari ke lantai atas, Miss,” jelas Daffi. Mataku sekilas menyapu meja Sherin. Kosong! Pantas saja aku tidak melihat gadis itu sedari tadi.

Tanpa menunggu lebih lama, aku berlari ke ruang guru meminta guru piket menggantikan sementara tugasku di kelas. Kulompati beberapa anak tangga sekaligus agar segera sampai ke lantai dua. Lorong-lorong sepi karena semua siswa berada di kelas masing-masing. Kutelusuri hingga toilet dan laboratorium. Namun, sosoknya tetap tidak kutemukan.

Tak lama aku sampai di lantai tiga, tingkat paling tinggi di gedung ini. Ya Allah, ternyata di sanalah gadis kecil itu, berdiri dengan tatapan kosong dan muka basah oleh air mata. Kakinya sudah naik di pagar pembatas. 

Lutut ini gemetar mengingat hal buruk yang bisa saja terjadi, tetapi aku tetap berusaha tenang. Gadis itu belum menyadari kehadiranku sehingga tanpa sepengetahuannya, kudekap erat tubuh itu dari belakang dan menariknya dengan cepat menjauhi pagar pembatas. Sherin seketika meronta dan berteriak.

"Lepaaas ... lepaskaaan!" jerit Sherin sekuat tenaga.

“Ssttt, Sayang …, enggak apa-apa. Ini Miss Wina. Tenang, ya,” bujukku. 

Kesadarannya perlahan kembali saat mengetahui bahwa akulah yang ada bersamanya. Setelah ia cukup tenang, aku membawanya ke ruang guru dan menelepon ibunya untuk mengabarkan kejadian ini.

***

Sherin melanjutkan pendidikannya di sekolah ini hingga lulus. Beruntung setelah diskusi panjang dengan dewan guru, kami menemukan pola yang cukup berhasil untuk menangani Sherin. Guru-guru kelasnya di tingkatan yang lebih tinggi sudah paham dan mengerti bagaimana menghadapi saat-saat sulit yang dialaminya. Perlahan namun pasti, Sherin mulai menunjukkan prestasi yang baik. 

Satu hal yang membuatku takjub adalah ketertarikannya pada ilmu hayati. Maka tak jarang, dia diutus sebagai wakil sekolah pada lomba-lomba sains. Kami selalu bangga dengan kemenangan-kemenangan yang dipersembahkannya untuk nama harum sekolah.

Setelah kelulusan sekolah dasar, aku jarang mendengar kabar Sherin. Sesekali ibunya masih memberi kabar kepadaku melalui surel tentang perjuangan Sherin menyelesaikan pendidikan di tengah keterbatasannya. Terakhir aku mengetahui, dia mengambil jurusan Teknologi Pangan di suatu universitas ternama di Belgia.

Siapa menyangka, gadis kecil itu sekarang hadir di hadapanku dalam wujud seorang wanita muda cantik dan energik. Senyumnya mengingatkanku pada masa-masa awal upayaku membuatnya merasa nyaman di kelas. Aku yakin, memori itu pula yang membekas di ingatannya dan membawa langkah Sherin menemuiku hari ini.

Sebuah undangan pernikahan yang cantik diberikannya padaku sebelum pulang. “Datang ya, Miss. Minggu depan, insyaallah, Sherin akan menikah.” Aku mengangguk tersenyum, syukurku tak terhingga. Oh Sherin, Miss Wina bahagia untukmu, Sayang, batinku.

 

SELESAI

Jumat, 13 Januari 2023

Mulailah Merancang Mimpi, Menggali Potensi dan Mengukir Prestasi

 


Judul                : Mulailah Merancang Mimpi, Menggali Potensi dan Mengukir Prestasi

Resume ke      : 03

Gelombang     : 28

Tanggal            : 13 Januari 2023

Tema                : Gali Potensi Ukir Prestasi

Narasumber    : Aam Nurhasanah, S.Pd

Moderator       : Arofiah Afifi, S.Pd

 

Pernah merasa tidak punya potensi untuk melakukan sesuatu? Saya pernah, sering malah. Bukan hendak menyalahkan pola pengasuhan orang tua saya yang dari sisi pendidikan mereka memang jauh dari titel well educated, akan tetapi sejak kecil saya memang jarang diekspos tentang potensi-potensi apa saja yang kira-kira saya punyai. Even, di sekolah-sekolah saya setiap jenjang sedikit sekali yang menyampaikan kepada saya bahwa saya punya potensi ini dan itu. Tes psikologi? Jangan ditanya. Keadaan ekonomi keluarga saya yang sederhana membuat orang tua tidak pernah bisa menganggarkan anak-anaknya untuk melakukan tes-tes semacam itu.

            Lalu, bagaimana saya mengetahui potensi-potensi yang ada dalam diri saya? Mostly, semua itu saya temukan dari menggali sendiri, termasuk potensi menulis. Bila waktu ditarik mundur ke belakang, keinginan menjadi penulis mulai tumbuh dalam diri sejak saya menemukan beberapa buku cerita kepunyaan abang ipar saya yang begitu menarik perhatian. Buku-buku itu habis saya baca, tapi saya malah jadi haus dan ingin membaca lebih banyak buku lagi.

             Keberuntungan menjadi milik saya ketika saya menemukan Perpustakaan Wilayah di kota saya yang kebetulan terletak tidak jauh dari terminal transit dalam perjalanan pulang pergi ke sekolah setiap hari saat di sekolah lanjutan tingkat pertama. Orang tua saya sudah mengetahui di mana saya berada apabila saya terlambat sampai di rumah, hampir setiap hari. Saya merasa sangat beruntung karena orang tua tidak melarang hobi saya tersebut. Di tempat penuh buku itulah saya melahap begitu banyak tema, terutama buku-buku ber-genre fiksi.

            Saat itu, saya sangat terinspirasi oleh bacaan-bacaan tersebut dan bertekad untuk menjadi seorang penulis seperti beberapa penulis favorit saya yang bukunya sering saya baca. Namun, saya sama sekali belum mengetahui bagaimana caranya. Satu hal lagi, saya tidak mempunyai keyakinan yang cukup apakah saya mempunyai potensi untuk menjadi seorang penulis. Saya sering merasa tidak percaya diri dan tulisan saya rasanya tidak layak dipublikasikan. Bahkan terkadang saya juga malu membaca tulisan saya sendiri. Sepertinya, hal-hal itulah yang menjadikan proses untuk mewujudkan tekad tersebut menjadi tidak pernah menemukan muara untuk menjadi suatu kenyataan.

            Malam ini, saat narasumber materi ketiga KBMN gelombang ke-28 yaitu Ibu Aam Nurhasanah, S.Pd menceritakan dengan begitu detail tentang bagaimana beliau menggali potensi menulis yang ada dalam diri beliau hingga berbuah raihan prestasi berupa tulisan-tulisan beliau yang telah dibukukan, maka saat itu saya mulai merasa bahwa apa yang beliau sampaikan sangatlah benar adanya dan menggelitik semangat menulis saya.

            Menurut beliau, kita tidak akan pernah mengetahui apa dan sejauh mana potensi dalam dunia kepenulisan sampai kita mencoba untuk melakukannya. Caranya tentu saja dengan memupuk semangat dan menetapkan tujuan awal dan alasan kita dalam menulis. Cara ini cukup ampuh apabila semangat kita mulai melemah, maka kita bisa merujuk kembali pada alasan tersebut.

Kita juga bisa menjadikan beberapa orang yang kita kagumi untuk menjadi inspirator dalam meningkatkan motivasi kita dalam menulis. Seperti Bu Aam yang menjadikan Om Jay dan Bunda Kanjeng sebagai penyemangat apabila beliau merasa semangat menulisnya melemah. Hingga akhirnya Bu Aam melahirkan begitu banyak karya baik berupa tulisan di berbagai antologi dengan berbagai tema maupun buku-buku solo, di antaranya berjudul Mengukir Mimpi Jadi Penulis Hebat, Kunci Sukses Menjadi Modertor Online, Blogger Inspiratif dan Rajin Menulis Berbuah Manis.

Bu Aam kemudian juga ditawari menjadi kurator atau editor oleh Bunda Kanjeng, salah satu pemateri senior di KBMN. Beberapa antologi maupun buku solo penulis lain lahir dari tangan beliau selaku editor. Salah satu kunci sukses beliau adalah menuliskan setiap pengalaman yang beliau alami. Beliau juga menuliskan hal-hal yang beliau senangi dan kuasai sehingga lahirlah begitu banyak tulisan dengan menjadikan mantra Om Jay sebagi acuan yaitu ‘Menulis setiap hari’.

Bu Aam memulai ukiran prestasi menulisnya dari mimpi yang dibarengi dengan semangat menggali potensi dan padaakhirnya membuahkan karya-karya hebat yang menginspirasi banyak orang yang membaca tulisan-tulisan beliau. Bahkan lewat kepiawaiannya, ibu guru satu ini juga sering diundang menjadi pembicara dalam forum-forum kepenulisan. Hebat bukan?

Jadi, apa yang saya tunggu?

 

 

Yulva Armadani

Pembelajar Sepanjang Hayat 

            

Senin, 09 Januari 2023

One Day One Post, Siapa Takut?

 


Judul                : One Day One Post, Siapa Takut?
Resume Ke      : 1
Gelombang      : 28
Tanggal            : 09 Januari 2023
Tema                : Menulis Setiap Hari
Narasumber    : Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd
Moderator       : Dail Ma'ruf. M.Pd


'Bila Anda rabun membaca, maka Anda akan lumpuh menulis'

Kutipan di atas adalah satu dari sekian banyak kutipan yang disampaikan oleh Bapak Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd atau biasa disapa dengan 'Om Jay' pada materi pertama KBMN gelombang ke-28 ini. Bagiku, kutipan itu serasa menohok, menggetarkan jiwa dan mengingatkanku pada janji yang kupatri pada diri sendiri. Bagaimana tidak, kurang lebih tujuh tahun yang lalu, aku berjanji yang kutuangkan pada sebuah postingan di https://yulvaarmadani.blogspot.com/2016/09/new-hope.html untuk menulis setiap hari dan mengunggah tulisan-tulisan tersebut di blog-ku ini. Aku bahkan bertekad untuk membaca paling tidak satu minggu satu buku. Namun apa dikata, janji tinggal janji. Seiring waktu berlalu dengan kesibukan yang seakan tak terurai, semua janji itu terlupakan dan menguap begitu saja. Walau terkadang terbersit keinginan untuk kembali ke rumah keduaku ini, bahkan sekadar untuk membersihkan debu-debunya, akan tetapi tak pernah terwujud jadi kenyataan. 

Saat mengikuti pemaparan materi dari Om Jay malam ini, tiba-tiba aku tersadar akan mimpi yang dulu tertunda. Keinginan untuk menjadi penulis kembali menggelora. Hal itu pula yang membuat aku bersemangat mengikuti kegiatan Komunitas Belajar Menulis Nusantara (KBMN) ini. Om Jay yang juga merupakan founder komunitas ini merupakan narasumber pertama dari 30 materi yang direncanakan. Materi 1 ini mengusung tema 'Menulis Setiap Hari'. 

Sebagai seorang pemula dalam dunia kepenulisan, untuk dapat menjadi seorang penulis yang baik, maka kita harus mampu mengatasi mental block yang terkadang menghalangi kita untuk mulai menulis. Salah satu caranya adalah dengan rajin membaca tulisan orang lain. Gaya menulis setiap penulis pasti berbeda, sehingga dengan membaca banyak tulisan, meskipun dengan tema yang sama, maka kita akan mendapat insight yang berbeda serta bisa menambah wawasan, kosa kata, ide dan cara penulisan yang berbeda.

Apabila kita banyak membaca, maka kita tidak akan rabun ilmu. Hal ini dapat menghindarkan kita dari lumpuh dalam menulis. Bekal dari bacaan kita tersebut harus segera dituangkan dalam bentuk tulisan dengan gaya kepenulisan kita sendiri. Untuk itu, maka mantra Om Jay yaitu menulislah setiap hari dan buktikan apa yang terjadi menjadi sangat relevan.

Om Jay telah membuktikan keampuhan mantra tersebut. Terbukti dengan begitu banyaknya tulisan yang telah beliau tulis, baik di blog pribadi maupun di media lain seperti kompasiana. Tak heran, lewat aktivitas ini Om Jay bahkan telah menghasilkan cuan yang cukup besar dalam bentuk saldo Gopay. Beliau bahkan pernah diundang ke istana Presiden berkat tulisannya.

Kunci menulis setiap hari adalah konsistensi dan komitmen yang tinggi. Seperti pesan Om Jay, menulis setiap hari itu harus ikhlas. Niatkan untuk berbagi ilmu dan pengalaman agar dapat diambil hikmahnya oleh para pembaca tulisan kita. Hanya memberi tanpa berharap apa-apa. Adapun bila ternyata tulisan kita menghasilkan sesuatu berupa materi, hal itu adalah bonus yang manis sebagai penghargaan atas ikhtiar kita dalam menulis.

Menulis juga harus dari hati, karena sesuatu yang ditulis dari keikhlasan hati akan sampai ke hati pembaca tanpa perlu kita paksakan. Ia akan mengalir bak aliran sungai yang deras, menebarkan hal-hal baik dari apa yang kita tuliskan. Apalagi jika kita menulis hal-hal yang kita kuasai dengan baik atau sesuatu yang kita senangi. Ketika kita menuangkannya dalam bentuk tulisan, maka ilmu kita bisa menjangkau lebih banyak orang, kapan saja dan di mana saja.

Apalagi dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, kita dapat memanfaatkannya untuk menunjang kegiatan tulis menulis kita. Menulis di blog adalah salah satu cara memanfaatkan teknologi karena kita bisa mengunggah tulisan kita setiap hari. Jadi menulis setiap hari sejatinya bukanlah hal yang sulit untuk dipraktikkan. Melalui blog yang kita punyai kegiatan menulis setiap hari terasa lebih ringan dan menyenangkan. Buah dari semua itu adalah sebuah harapan bahwa suatu hari kita mampu menulis buku dari kumpulan-kumpulan tulisan yang sudah kita simpan di blog. Tak heran jika suatu saat kita mampu mendapatkan penghasilan tambahan dari kegiatan menulis karena seperti kata Om Jay, menulis adalah hobi yang dibayar.

Namun ingatlah, untuk tetap memperhatikan apa yang kita tulis. Kita harus bertanggungjawab terhadap isi atau materi tulisan kita. Biasakan untuk membaca ulang dan mempertimbangkan baik buruknya sebelum kita memposting tulisan kita. Bila tulisan kita memang bagus dan diminati pembaca, maka manfaatnya akan kembali kepada kita. Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah jangan merasa tulisan kita paling hebat sehingga kita menafikan kegiatan membaca tulisan orang lain sebagai sarana pembelajaran dan bekal kita dalam menulis tulisan kita sendiri. Ingatlah, menulis setiap hari dan buktikan apa yang terjadi!

So, one day one post? Siapa takut? Bismillah aja!


          (Yulva Armadani, pembelajar sepanjang hayat) 


 


Rabu, 04 Januari 2023

Seven years later ...

 Alangkah berdebunya blog ini setelah kutinggal kurang lebih tujuh tahun berselang. Banyak hal terjadi selama kurun waktu tersebut, termasuk naik turunnya roda kehidupan, amanah-amanah baru yang disematkan, perjuangan menghadapi pandemi covid 19 yang melelahkan hingga mampu melewatinya dengan memetik beragam hikmah dan buah kesabaran.

Semua ceritanya insyaallah akan kucoba cicil untuk menjadi catatan bagi anak-anakku kelak saat suatu saat mereka menemukan coretan-coretan umminya di sini.

Bismillah, mari kita mulai lagi harapan baru. Cukup sudah hiatus-nya, harus kembali bangun, berdiri tegak dan bergerak ... 




 Me and my beloved son and daughter :)