Minggu, 18 September 2016

Jodohku





Amplop coklat itu tergeletak begitu saja di meja kerjaku.Disampingnya tumpukan kertas hasil ulangan harian murid-muridku pagi tadi menunggu untuk dikoreksi.Niatku untuk mengoreksi menguap begitu saja. Bagaimana tidak, amplop coklat itu lebih menggelitik hatiku untuk dibuka.Walaupun aku tahu persis setiap kata yang tertulis di lembaran-lembaran kertas yang ada didalamnya. Ya, itu adalah amplop yang sama dengan yang pernah kuterima tiga bulan yang lalu. Diantar tadi sore oleh Linda, orang yang sama yang mengantarkannya saat itu.
“Beliau minta diproses ulang, Un …” Linda menjelaskan keherananku. Gadis manis mantan teman kost ku itu tersenyum. Tentu ia paham apa yang membuatku heran. “Tidak usah khawatir, insyaallah beliau bilang keluarganya sudah setuju.” Aku tidak tahu cara apa yang digunakan sang ikhwan untuk melembutkan hati keluarganya. Masih dalam kegalauan kulepas Linda pulang setelah sebelumnya dia meminta ulang amplop berisi biodataku yang tiga bulan lalu dikembalikannya bersamaan dengan ditariknya kembali amplop coklat itu.
Aku teringat tiga bulan yang lalu aku bertemu sahabatku mba Atiqi, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Islamic Village, sebuah perguruan tinggi yang masih satu yayasan dengan SDS Model tempat aku mengajar selama 6 tahun ini. Mba Atiqi -yang meskipun kupanggil mba tapi ia lebih muda satu tahun dibanding aku- bukan hanya sekedar sahabat bagiku, ia adalah juga mantan ibu kost ku, ibu muda yang enerjik dan sangat aktif meskipun sudah mempuyai tiga orang anak yang lucu-lucu. Aku sempat tinggal di ‘Rumah Kayu’ rumahnya yang besar bersama Linda dan beberapa teman lain. Baru beberapa tahun ini aku memutuskan pindah ke kontrakan yang lebih besar setelah Yanti adikku ikut menyusulku merantau ke Tangerang ini. Sore itu, mba Atiqi sengaja menemuiku usai sholat Ashar berjamaah di masjid Al-Istighna, masjid utama di kompleks pendidikan yayasan ini.
“Va, anti tidak sedang ada proses dengan ikhwan lain khan?’ tanyanya membuka pembicaraan kami di salah satu sudut masjid. Aku langsung menangkap arah pembicaraannya. Di usiaku yang sudah menginjak kepala tiga ini pertanyaan seperti itu sudah sangat sering diajukan kepadaku. Namun sampai saat ini Allah belum berkehendak mempertemukanku dengan jodoh yang telah dipersiapkanNya untukku.“Tidak, mba” jawabku singkat.“Kebetulan kalau begitu,” lanjutnya.“Ada seorang dosen baru di STIT, ikhwan, S2, usianya paling terpaut setahun dua tahun lebih tua dari anti. Anti mau khan tukeran biodata, siapa tahu berjodoh.” Insyaallah, mba,” jawabku tertunduk.“Siapin biodata anti ya, nanti biodata ikhwan itu ane titip Linda,” ucapnya sebelum kami berpisah. Linda memang bekerja sebagai staf di perguruan tinggi itu.
Beberapa hari kemudian, Linda datang dan menyerahkan amplop coklat berisi biodata si ikhwan itu ke rumah kontrakanku. Padanya kuserahkan pula biodataku yang a la kadarnya. Ya, a la kadarnya bila dibandingkan dengan biodata yang sedang ada ditanganku saat ini. Sungguh sebuah biodata yang sempurna. Nyaliku ciut seketika, hehehe. Tambah ciut ketika seminggu kemudian Linda mengabarkan bahwa keluarga si ikhwan tidak menyetujui aku sebagai calon menantunya setelah menelaah biodataku. Wallahu a’lam apa yang mendasari keberatan keluarganya. Hmmm… baiklah, tak ada yang bisa kulakukan saat itu selain memasrahkan diri pada sang Penentu. Ku minta Linda untuk menarik kembali biodataku dan kuserahkan kembali biodata dalam amplop coklat itu. Bila memang bukan beliau jodoh yang ditentukan Allah untukku, aku tak berhak merasa kecewa. Hidup harus terus berlanjut dengan tetap berprasangka baik pada apapun yang ditentukanNya.
Tiga bulan berlalu sampai tadi Linda datang lagi mengejutkanku dengan sesuatu yang sebenarnya sudah mulai kulupakan. Kukabari Amak di Padang dan seperti tiga bulan lalu beliau menyerahkan semua keputusan ditanganku. Hanya saja beliau memintaku untuk tidak putus istikhorah untuk memantapkan hati sesuai petunjuk Allah. Yanti adikku yang sudah lebih dulu menikah setahun yang lalu menguatkan hatiku untuk segera menggenapkan separuh dien-ku. Hanya dia dan suaminya keluarga terdekatku diperantauan ini.
Sepuluh hari berlalu akhirnya aku mantap untuk melaksanakan ta’aruf dengan si ikhwan. Murobbiku dan murobbinya kemudian memfasilitasi pertemuan pertama kami. Pada hari yang ditentukan aku datang sendiri ke rumah murobbiku. Tak lama iapun datang bersama murobbinya. Berlima dengan suami murobbiku kami berdiskusi berbagai hal. Disepakati untuk masing-masing memberikan keputusan satu minggu kemudian.
Yanti dan suaminya kuminta untuk menemui si ikhwan untuk ikut berta’aruf sementara aku semakin intens menginterogasi Linda untuk mengorek semua informasi tentang si ikhwan karena mereka memang satu kantor dan bertemu setiap hari. Tiap detik di hari-hari selanjutnya aku habiskan untuk memasrahkan diri pada Allah memohon petunjukNya agar aku diberikan pilihan terbaik karena keputusan apapun nanti yang kuambil akan sangat menentukan jalan hidupku di kemudian hari. Seminggu kemudian setelah istikhoroh yang tidak putus aku memberikan jawaban dengan bismillah untuk menerima beliau menjadi calon suamiku. Keputusanku bak gayung bersambut dengan keputusannya. Akhirnya kami menyepakati waktu untuk melaksanakan khitbah. Apa daya keluargaku jauh di seberang pulau sana, sementara keluarganya alhamdulillah lebih dekat di Bandar Lampung. Adalah sangat tidak memungkinkan bila khitbah dilaksanakan di Padang. Akan sangat banyak hal yang harus dipertimbangkan termasuk wakyu dan biaya. Ditengah kegalauanku, ibu-ibu kompleks Islamic Village yang merupakan murid-murid tahsinku langsung turun tangan. Bu Hermanto menyediakan rumahnya sebagai tempat pelaksanaan khitbah, Bu Maman, Bu Edy, Bu Susi, Bu Arsal dan beberapa ibu lain mempersiapkan makanan dan minuman serta peralatan makan dan minumnya secara cuma-cuma (terharu, hiks).
Tak pernah terbayangkan acara khitbahku akan berlangsung jauh dari keluarga, namun semua yang sudah mempersiapkan acara ini adalah keluargaku dalam islam. Pak Hermanto, bapak angkatku disini memposisikan dirinya sebagai keluarga intiku. Beruntung masih ada Yanti dan suaminya, selain mereka alhamdulillah hadir juga beberapa orang sepupuku, keponakan almarhum Abak, ayahku. Dari pihak si ikhwan hadir keluarga besarnya dari Bandar Lampung dan sekitaran jadebotbek. Aku sendiri tidak mempersiapkan diri secara khusus untuk acara ini, pakaianpun hanya kupilih yang kuanggap terbaik dari koleksi pakaianku yang bisa dihitung jari, namun lihatlah si ikhwan my husband to be itu… oh My, dia seperti orang yang baru saja selesai olah raga, kelihatan belum mandi dan memakai baju kaos saja… wakakak cuek bener sih? Alhamdulillah acara berlangsung lancar, setelah secara resmi pihak keluarganya melamarku. Ya Allah aku seakan tak percaya, aku dilamaaar…. Sebelum ditutup kedua belah pihak menyepakati hari pelaksanaan akad nikah sekaligus resepsi. Waktunya kurang lebih satu bulan sejak khitbah.
Beruntung sekali aku mempunyai murabbi dan teman-teman liqo yang sigap membantu setiap detail persiapan mulai dari menghubungi pihak pengurus masjid Mawaddah di kompleks Islamic Village ini, menghubungi ustadz Teunku Iwan untuk khotbah nikah dan mencetak serta menyebarkan undangan. Rekan-rekan guru disekolah tempatku mengajarpun tak ketinggalan membantu mengurus katering sampai menghubungi balai warga Islamic Village tempat rencananya resepsi outdoor akan berlangsung. Sementara aku dan akh Hendry calon suamiku fokus mengurus surat menyurat dan mencari kontrakan baru tempat rencananya kami tinggal setelah menikah karena kontrakan yang sekarang kutempati bersama-sama dengan beberapa orang teman. Keluarga Padang kuminta datang beberapa hari sebelum hari H, demikian juga keluarga Lampung. Calon mertuaku meskipun tinggal di Lampung akan tetapi mereka berasal dari Padang Sidempuan Sumatera Utara. Ternyata kami masih bertetangga provinsi jadi kalau mudik masih satu arah ^_^
Sabtu  9 Juni 2007, hari itu resmi kusempurnakan separuh agamaku. Pernikahan impianku berjalan sesuai rencana. Diawali dengan akad nikah di masjid Mawaddah yang berlangsung sangat khidmat. Alhamdulillah aku seorang istri sekarang, tanggung jawab baru dalam hidupku dimulai. Setelah itu dilanjutkan dengan resepsi di balai warga yang berjarak kurang lebih 50 m dari masjid Mawaddah . Acara berlangsung sampai pukul 15.00. Rasa syukur tak terhingga pada Allah dan terimakasih untuk semua yang telah membantu terlaksananya seluruh rangkaian acara. Besoknya aku diundang untuk acara adat batak di rumah salah seorang paman suamiku di Bogor. Dari Karawaci kami menyempatkan diri untuk singgah terlebih dahulu ke Monas untuk menghadiri aksi solidaritas Palestina baru setelah itu kami naik kereta api ke Bogor. Itu adalah perjalanan tak terlupakan seumur hidupku, pertama kalinya aku bepergian dengan seorang lelaki yang menggandeng tanganku dan menuntun setiap langkahku. Yaa, dialah suamiku, lelaki pilihan Allah untukku. Alhamdulillah ‘a la kulli hal…
Aaah, itu adalah cerita sembilan tahun silam. Sejak saat itu kami mengarungi bahtera rumah tangga. Memang baru sembilan tahun kebersamaan kami, namun selama waktu itu berbagai hal telah kami hadapi bersama, pahit manis, senang sedih, menangis tertawa, naik turun ibarat naik roller coaster. Selama ini dukungan keluarga terutama orang tua dan saudara-saudara kami menjadi penguat kami dalam meniti setiap langkah di jalan dakwah ini. Benarlah adanya janji Allah bahwa Dia akan memberikan kekayaan dalam berbagai bentuk untuk sepasang hambaNya yang memutuskan untuk menikah, kekayaan hati, kekayaan pemahaman. Tak satupun nikmatNya yang hendak kami dustakan, bahkan saat ini kami sudah dikaruniai amanah sepasang putra putri penyejuk mata yang sehat wal afiat. Semoga Allah izinkan kami bersama selamanya sampai ke syurga.Amiiin ...



                                                                                     Serpong, medio September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar