Amplop coklat itu tergeletak begitu saja di meja kerjaku.Disampingnya tumpukan kertas hasil ulangan harian murid-muridku pagi tadi menunggu untuk dikoreksi.Niatku untuk mengoreksi menguap begitu saja. Bagaimana tidak, amplop coklat itu lebih menggelitik hatiku untuk dibuka.Walaupun aku tahu persis setiap kata yang tertulis di lembaran-lembaran kertas yang ada didalamnya. Ya, itu adalah amplop yang sama dengan yang pernah kuterima tiga bulan yang lalu. Diantar tadi sore oleh Linda, orang yang sama yang mengantarkannya saat itu.
“Beliau
minta diproses ulang, Un …” Linda menjelaskan keherananku. Gadis manis mantan
teman kost ku itu tersenyum. Tentu ia paham apa yang membuatku heran. “Tidak
usah khawatir, insyaallah beliau bilang keluarganya sudah setuju.” Aku tidak tahu
cara apa yang digunakan sang ikhwan untuk melembutkan hati keluarganya. Masih
dalam kegalauan kulepas Linda pulang setelah sebelumnya dia meminta ulang
amplop berisi biodataku yang tiga bulan lalu dikembalikannya bersamaan dengan
ditariknya kembali amplop coklat itu.
Aku teringat tiga bulan yang lalu aku bertemu sahabatku mba Atiqi, Ketua Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah Islamic Village, sebuah perguruan tinggi yang masih satu
yayasan dengan SDS Model tempat aku mengajar selama 6 tahun ini. Mba Atiqi
-yang meskipun kupanggil mba tapi ia lebih muda satu tahun dibanding aku- bukan
hanya sekedar sahabat bagiku, ia adalah juga mantan ibu kost ku, ibu muda yang
enerjik dan sangat aktif meskipun sudah mempuyai tiga orang anak yang
lucu-lucu. Aku sempat tinggal di ‘Rumah Kayu’ rumahnya yang besar bersama Linda
dan beberapa teman lain. Baru beberapa tahun ini aku memutuskan pindah ke
kontrakan yang lebih besar setelah Yanti adikku ikut menyusulku merantau ke
Tangerang ini. Sore itu, mba Atiqi sengaja menemuiku usai sholat Ashar berjamaah di masjid
Al-Istighna, masjid utama di kompleks pendidikan yayasan ini.
“Va,
anti tidak sedang ada proses dengan ikhwan lain khan?’ tanyanya membuka
pembicaraan kami di salah satu sudut masjid. Aku langsung menangkap arah
pembicaraannya. Di usiaku yang sudah menginjak kepala tiga ini pertanyaan
seperti itu sudah sangat sering diajukan kepadaku. Namun sampai saat ini Allah
belum berkehendak mempertemukanku dengan jodoh yang telah dipersiapkanNya
untukku.“Tidak, mba” jawabku singkat.“Kebetulan kalau begitu,” lanjutnya.“Ada
seorang dosen baru di STIT, ikhwan, S2, usianya paling terpaut setahun dua
tahun lebih tua dari anti. Anti mau khan tukeran biodata, siapa tahu berjodoh.”
Insyaallah, mba,” jawabku tertunduk.“Siapin biodata anti ya, nanti biodata
ikhwan itu ane titip Linda,” ucapnya sebelum kami berpisah. Linda memang bekerja
sebagai staf di perguruan tinggi itu.
Beberapa
hari kemudian, Linda datang dan menyerahkan amplop coklat berisi biodata si
ikhwan itu ke rumah kontrakanku. Padanya kuserahkan pula biodataku yang a la
kadarnya. Ya, a la kadarnya bila dibandingkan dengan biodata yang sedang ada
ditanganku saat ini. Sungguh sebuah biodata yang sempurna. Nyaliku ciut
seketika, hehehe. Tambah ciut ketika seminggu kemudian Linda mengabarkan bahwa
keluarga si ikhwan tidak menyetujui aku sebagai calon menantunya setelah menelaah
biodataku. Wallahu a’lam apa yang mendasari keberatan keluarganya. Hmmm… baiklah, tak ada yang bisa kulakukan saat itu selain
memasrahkan diri pada sang Penentu. Ku minta Linda untuk menarik kembali
biodataku dan kuserahkan kembali biodata dalam amplop coklat itu. Bila memang
bukan beliau jodoh yang ditentukan Allah untukku, aku tak berhak merasa kecewa.
Hidup harus terus berlanjut dengan tetap berprasangka baik pada apapun yang
ditentukanNya.
Tiga
bulan berlalu sampai tadi Linda datang lagi mengejutkanku dengan sesuatu yang
sebenarnya sudah mulai kulupakan. Kukabari Amak di Padang dan seperti tiga
bulan lalu beliau menyerahkan semua keputusan ditanganku. Hanya saja beliau
memintaku untuk tidak putus istikhorah untuk memantapkan hati sesuai petunjuk
Allah. Yanti adikku yang sudah lebih dulu menikah setahun yang lalu menguatkan
hatiku untuk segera menggenapkan separuh dien-ku. Hanya dia dan suaminya
keluarga terdekatku diperantauan ini.
Sepuluh
hari berlalu akhirnya aku mantap untuk melaksanakan ta’aruf dengan si ikhwan. Murobbiku
dan murobbinya kemudian memfasilitasi pertemuan pertama kami. Pada hari yang
ditentukan aku datang sendiri ke rumah murobbiku. Tak lama iapun datang bersama
murobbinya. Berlima dengan suami murobbiku kami berdiskusi berbagai hal. Disepakati
untuk masing-masing memberikan keputusan satu minggu kemudian.
Yanti
dan suaminya kuminta untuk menemui si ikhwan untuk ikut berta’aruf sementara
aku semakin intens menginterogasi Linda untuk mengorek semua informasi tentang
si ikhwan karena mereka memang satu kantor dan bertemu setiap hari. Tiap detik di hari-hari selanjutnya aku habiskan untuk memasrahkan diri pada Allah memohon petunjukNya agar aku diberikan pilihan terbaik karena keputusan apapun nanti yang kuambil akan sangat menentukan jalan hidupku di kemudian hari. Seminggu
kemudian setelah istikhoroh yang tidak putus aku memberikan jawaban dengan
bismillah untuk menerima beliau menjadi calon suamiku. Keputusanku bak gayung
bersambut dengan keputusannya. Akhirnya kami menyepakati waktu untuk
melaksanakan khitbah. Apa daya keluargaku jauh di seberang pulau sana,
sementara keluarganya alhamdulillah lebih dekat di Bandar Lampung. Adalah
sangat tidak memungkinkan bila khitbah dilaksanakan di Padang. Akan sangat banyak hal yang harus dipertimbangkan termasuk wakyu dan biaya. Ditengah
kegalauanku, ibu-ibu kompleks Islamic Village yang merupakan murid-murid
tahsinku langsung turun tangan. Bu Hermanto menyediakan rumahnya sebagai tempat
pelaksanaan khitbah, Bu Maman, Bu Edy, Bu Susi, Bu Arsal dan beberapa ibu lain
mempersiapkan makanan dan minuman serta peralatan makan dan minumnya secara
cuma-cuma (terharu, hiks).
Tak
pernah terbayangkan acara khitbahku akan berlangsung jauh dari keluarga, namun
semua yang sudah mempersiapkan acara ini adalah keluargaku dalam islam. Pak
Hermanto, bapak angkatku disini memposisikan dirinya sebagai keluarga intiku.
Beruntung masih ada Yanti dan suaminya, selain mereka alhamdulillah hadir juga
beberapa orang sepupuku, keponakan almarhum Abak, ayahku. Dari pihak si ikhwan
hadir keluarga besarnya dari Bandar Lampung dan sekitaran jadebotbek. Aku
sendiri tidak mempersiapkan diri secara khusus untuk acara ini, pakaianpun
hanya kupilih yang kuanggap terbaik dari koleksi pakaianku yang bisa dihitung
jari, namun lihatlah si ikhwan my husband to be itu… oh My, dia seperti orang
yang baru saja selesai olah raga, kelihatan belum mandi dan memakai baju kaos
saja… wakakak cuek bener sih? Alhamdulillah acara berlangsung lancar, setelah
secara resmi pihak keluarganya melamarku. Ya Allah aku seakan tak percaya, aku
dilamaaar…. Sebelum ditutup kedua belah pihak menyepakati hari pelaksanaan akad
nikah sekaligus resepsi. Waktunya kurang lebih satu bulan sejak khitbah.
Beruntung
sekali aku mempunyai murabbi dan teman-teman liqo yang sigap membantu setiap
detail persiapan mulai dari menghubungi pihak pengurus masjid Mawaddah di
kompleks Islamic Village ini, menghubungi ustadz Teunku Iwan untuk khotbah
nikah dan mencetak serta menyebarkan undangan. Rekan-rekan guru disekolah
tempatku mengajarpun tak ketinggalan membantu mengurus katering sampai menghubungi
balai warga Islamic Village tempat rencananya resepsi outdoor akan berlangsung.
Sementara aku dan akh Hendry calon suamiku fokus mengurus surat menyurat dan
mencari kontrakan baru tempat rencananya kami tinggal setelah menikah karena
kontrakan yang sekarang kutempati bersama-sama dengan beberapa orang teman.
Keluarga Padang kuminta datang beberapa hari sebelum hari H, demikian juga
keluarga Lampung. Calon mertuaku meskipun tinggal di Lampung akan tetapi mereka
berasal dari Padang Sidempuan Sumatera Utara. Ternyata kami masih bertetangga
provinsi jadi kalau mudik masih satu arah ^_^
Sabtu 9 Juni 2007, hari itu resmi kusempurnakan
separuh agamaku. Pernikahan impianku berjalan sesuai rencana. Diawali dengan
akad nikah di masjid Mawaddah yang berlangsung sangat khidmat. Alhamdulillah
aku seorang istri sekarang, tanggung jawab baru dalam hidupku dimulai. Setelah
itu dilanjutkan dengan resepsi di balai warga yang berjarak kurang lebih 50 m
dari masjid Mawaddah . Acara berlangsung sampai pukul 15.00. Rasa syukur tak
terhingga pada Allah dan terimakasih untuk semua yang telah membantu
terlaksananya seluruh rangkaian acara. Besoknya aku diundang untuk acara adat
batak di rumah salah seorang paman suamiku di Bogor. Dari Karawaci kami
menyempatkan diri untuk singgah terlebih dahulu ke Monas untuk menghadiri aksi
solidaritas Palestina baru setelah itu kami naik kereta api ke Bogor. Itu adalah
perjalanan tak terlupakan seumur hidupku, pertama kalinya aku bepergian dengan
seorang lelaki yang menggandeng tanganku dan menuntun setiap langkahku. Yaa,
dialah suamiku, lelaki pilihan Allah untukku. Alhamdulillah ‘a la kulli hal…
Aaah,
itu adalah cerita sembilan tahun silam. Sejak saat itu kami mengarungi bahtera
rumah tangga. Memang baru sembilan tahun kebersamaan kami, namun selama waktu
itu berbagai hal telah kami hadapi bersama, pahit manis, senang sedih, menangis
tertawa, naik turun ibarat naik roller coaster. Selama ini dukungan keluarga
terutama orang tua dan saudara-saudara kami menjadi penguat kami dalam meniti
setiap langkah di jalan dakwah ini. Benarlah adanya janji Allah bahwa Dia akan
memberikan kekayaan dalam berbagai bentuk untuk sepasang hambaNya yang
memutuskan untuk menikah, kekayaan hati, kekayaan pemahaman.
Tak satupun nikmatNya yang hendak kami dustakan, bahkan saat ini kami sudah
dikaruniai amanah sepasang putra putri penyejuk mata yang sehat wal afiat.
Semoga Allah izinkan kami bersama selamanya sampai ke syurga.Amiiin ...
Serpong, medio September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar