Aku terpana menatap sosok yang berdiri di teras rumah sederhanaku. Bergamis lebar dengan khimar panjang yang berkibar tertiup embusan angin sore berbau petrichor setelah hujan siang tadi. Sebentuk senyum yang terasa tidak asing, terukir di bibir tipisnya. Gadis itu mengulurkan kedua tangan dan menghambur ke pelukanku. Isaknya terdengar sendu. Saat ia melepaskan pelukan, tangan kananku diraih dan diciumnya dengan takzim.
Pikiranku masih belum mampu mengingat sosok yang kutaksir berumur sekitar dua puluh tahunan itu. Aku yakin, dia adalah salah satu dari ratusan murid yang pernah kudidik selama lebih dari tiga puluh tahun mengajar di sebuah sekolah negeri tingkat dasar di kota ini. Jelang lima puluh tahun usiaku, tidak semua nama dan wajah dapat kuingat dengan baik.
“Miss, ini Sherin. Miss masih ingat aku?” Gadis itu mencoba menggali memoriku.
“Sherin …? Sherin Aulia Putri?” tanyaku sambil memasang kacamata plus-ku.
Anggukan disertai senyuman itu, langsung mengingatkanku pada sosok kecilnya belasan tahun silam, saat aku menjadi wali kelasnya di kelas satu.
“MasyaAllah, Sherin, apa kabar?” tanyaku takjub.
“Alhamdulillah, baik, Miss."
"Kamu tinggal di mana sekarang," tanyaku penasaran.
"Aku sekarang tinggal di Den Haag. Selepas menempuh pendidikan master di Belgia, aku jadi halal auditor untuk processed food di Belanda. Mumpung liburan, aku sempatin nengokin Miss Wina. Aku kangen, Miss,” ujar Sherin.
“Sekalian mau ngasih ini ….” Diangsurkannya brosur sebuah travel perjalanan haji dan umroh. Aku menatapnya ragu. Sherin tersenyum mengangguk. “Hadiah umroh buat Miss Wina dan suami.”
Aku tergugu, seakan tidak percaya dengan pendengaranku.
***
"Miss, aku enggak mau nulis. Capek!" Sebuah suara memelas terdengar dari arah belakangku. Belum sempat aku memberikan reaksi, tiba-tiba sang pemilik suara sudah bergelayut manja di punggungku. Lengan panjangnya merangkul sekeliling leher membuat aku sedikit kesulitan bernapas.
Aku terdiam sesaat. Kalau sudah begini, tumpukan koreksian penilaian harian di atas meja harus menunggu untuk diselesaikan. Kulepaskan rangkulannya dan kutunjuk kursi kosong di depanku menyuruhnya duduk. Gadis kecil berseragam putih merah itu menurut dengan sedikit memberengut sambil merapikan anak-anak rambut yang menyeruak di balik kerudung putih. Sesekali ia menyusut ingus dengan punggung tangan. Semburat merah di pipi chubby itu sangat menggemaskan. Mata belok-nya mengerjap jenaka menatapku. Apalagi maksudnya kalau bukan ingin membujukku agar membebaskannya dari tugas menulis yang tidak disukainya. Dia tidak peduli teriakan teman-teman sekelas yang menyuruh untuk segera duduk menyelesaikan tugas di bangkunya.
Aku tersenyum melihat polahnya. Sherin, gadis kecil ini membutuhkan perhatian lebih dibanding murid-murid lain di kelasku. Di balik wajah lucu itu, tersimpan nestapa yang sangat dalam pada usianya yang baru melewati angka delapan. Ah, apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu tetap bertahan dalam keterbatasan, Anak manis? batinku.
Baru di pertengahan semester kedua ini, ibunda Sherin datang untuk memberitahukan pihak sekolah perihal tes ADOS (The Autism Diagnostic Observasion Schedule) yang dijalani gadis itu beberapa tahun terakhir. Hasil tes tersebut menyatakan bahwa muridku itu seorang Aspie atau penyandang sindrom Asperger. Penjelasan ibunya membuka mataku tentang semua gejala yang ditunjukkan Sherin selama ini. Gadis dengan IQ tinggi seperti dia, seharusnya dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Akan tetapi, sampai akhir kelas satu ini, dia bahkan belum bisa menulis. Tahun lalu, Sherin bahkan tidak naik ke kelas dua karena saat itu banyak faktor yang menyebabkan aku memutuskan untuk mempertahankannya di kelas satu. Belum lagi sikap anti sosial yang ditunjukkannya, membuat gadis kecil itu sering menjadi bahan olok-olokan teman-teman dan kakak kelas.
Atas masukan yang kuberikan, akhirnya Bu Sumarni, kepala sekolah tetap mempertahankan Sherin di kelasku. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit aku mulai belajar mengenai sindrom yang disandangnya, agar tidak salah dalam menangani Sherin. Bagiku dia bukan sekadar murid, tetapi juga guru yang mengajarkan banyak hal baru padaku sebagai seorang pendidik. Meskipun hari-hari bersamanya di sekolah penuh dengan kejadian menegangkan dan situasi tak terduga.
***
Kupercepat langkah menuju kelas. Tenezi berlari di samping mengimbangi ayunan kakiku yang nyaris melayang. Laporan singkat bocah lelaki ini memaksaku memutus percakapan dengan tamu, beberapa orang mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi yang baru kulayani sekitar lima belas menit yang lalu. Suara riuh rendah teriakan anak-anak perempuan ditingkahi bunyi telapak kaki berlarian kian kemari semakin menggegasku.
Pintu kelas terbuka dan mataku tertancap pada sebuah pemandangan mengerikan. Sherin sedang menghunuskan pensil panjang dan runcing di tangan kanannya ke wajah Alka, seorang bocah lelaki dengan perawakan kecil. Beruntung, tangan kiri Alka menahan laju pensil itu sementara sebuah buku ensiklopedi tentang dinosaurus menjadi bahan rebutan mereka.
Seakan lupa bernapas aku menghambur merebut pensil itu dari tangan Sherin. Monster demon sedang menguasai gadis kecil itu, hingga pensil di tangannya terasa begitu sulit untuk dilepaskan. Seketika aku peluk tubuh yang sedang menegang kaku itu. Pensil berhasil kusita, tetapi berakhir dengan lengking teriakan putus asa yang keluar dari mulut Sherin.
"Itu buku akuuuu!" Telunjuk Sherin mengarah pada buku yang dipegang Alka.
“Ini punyaku!” Alka berhasil lolos dan membawa lari buku itu ke pojok kelas. Tak tinggal diam Sherin sukses melepaskan diri dari rangkulanku dan melesat mengejar Alka untuk memperjuangkan buku kegemarannya itu.
Oh Tuhan, ini salahku. Seharusnya tadi aku menyediakan lebih dari satu buku semacam itu di pojok baca kelas. Sebagai penyandang Asperger Disorder, dengan kecerdasan yang biasanya ada pada great rata-rata ke atas, Sherin memiliki minat yang sangat tinggi pada buku terutama yang bersifat ingatan pada satu kategori. Buku tentang klasifikasi hewan yang menggunakan nama-nama latin seperti buku dinosaurus itu adalah salah satunya. Tak heran jika ia meradang saat Alka berusaha merebut buku tersebut dari tangannya.
Kupisahkan kedua anak itu sekuat tenaga. Dengan sedikit memaksa Sherin kubawa ke ruang guru. Wajah gadis kecil itu meringis, napasnya memburu menahan amarah. Beberapa saat kemudian ia berangsur tenang setelah aku memberikan buku dinosaurus yang dibawakan Bu Anita. Guru BK sekolah itu tadi memang kuminta untuk segera mencarikan buku serupa di perpustakaan sekolah.
Penanganan Sherin kuserahkan pada Bu Anita. Aku bergegas ke kelas. Ada dua puluh enam anak lain yang harus segera kutenangkan setelah huru-hara ini. Kurutuki kekeliruanku meninggalkan kelas meski hanya lima belas menit tanpa meminta bantuan guru piket. Namun. tugas tambahanku sebagai kepala bidang kesiswaan juga menuntutku untuk melayani tamu pagi ini. Untungnya, Bu Sumarni bersedia melanjutkan diskusi dengan para mahasiswa itu.
Sungguh tak kukira, kegiatan rutin membaca buku di pojok baca kelas selama lima belas menit sebelum pembelajaran dimulai pagi ini berakhir dengan kericuhan yang hampir saja memakan korban. Aku begidik membayangkan nasib wajah Alka di ujung pensil runcing itu andai aku terlambat satu menit saja.
***
“Miss, Sherin tadi ngamuk karena diledekin anak-anak cowok kelas lima,” lapor Daffi. Pelajaran sesudah istirahat baru saja akan kumulai.
“Memangnya ada apa, Daf?” tanyaku penuh selidik.
“Sherinnya ngoceh terus soal pesawat yang barusan lewat, jenis pesawatnya lah, kecepatannya lah. Mana tangannya digoyang-goyangin melulu. Jadinya diledekin deh, sama kakak-kakak itu. Sherin jadi nangis, terus langsung lari ke lantai atas, Miss,” jelas Daffi. Mataku sekilas menyapu meja Sherin. Kosong! Pantas saja aku tidak melihat gadis itu sedari tadi.
Tanpa menunggu lebih lama, aku berlari ke ruang guru meminta guru piket menggantikan sementara tugasku di kelas. Kulompati beberapa anak tangga sekaligus agar segera sampai ke lantai dua. Lorong-lorong sepi karena semua siswa berada di kelas masing-masing. Kutelusuri hingga toilet dan laboratorium. Namun, sosoknya tetap tidak kutemukan.
Tak lama aku sampai di lantai tiga, tingkat paling tinggi di gedung ini. Ya Allah, ternyata di sanalah gadis kecil itu, berdiri dengan tatapan kosong dan muka basah oleh air mata. Kakinya sudah naik di pagar pembatas.
Lutut ini gemetar mengingat hal buruk yang bisa saja terjadi, tetapi aku tetap berusaha tenang. Gadis itu belum menyadari kehadiranku sehingga tanpa sepengetahuannya, kudekap erat tubuh itu dari belakang dan menariknya dengan cepat menjauhi pagar pembatas. Sherin seketika meronta dan berteriak.
"Lepaaas ... lepaskaaan!" jerit Sherin sekuat tenaga.
“Ssttt, Sayang …, enggak apa-apa. Ini Miss Wina. Tenang, ya,” bujukku.
Kesadarannya perlahan kembali saat mengetahui bahwa akulah yang ada bersamanya. Setelah ia cukup tenang, aku membawanya ke ruang guru dan menelepon ibunya untuk mengabarkan kejadian ini.
***
Sherin melanjutkan pendidikannya di sekolah ini hingga lulus. Beruntung setelah diskusi panjang dengan dewan guru, kami menemukan pola yang cukup berhasil untuk menangani Sherin. Guru-guru kelasnya di tingkatan yang lebih tinggi sudah paham dan mengerti bagaimana menghadapi saat-saat sulit yang dialaminya. Perlahan namun pasti, Sherin mulai menunjukkan prestasi yang baik.
Satu hal yang membuatku takjub adalah ketertarikannya pada ilmu hayati. Maka tak jarang, dia diutus sebagai wakil sekolah pada lomba-lomba sains. Kami selalu bangga dengan kemenangan-kemenangan yang dipersembahkannya untuk nama harum sekolah.
Setelah kelulusan sekolah dasar, aku jarang mendengar kabar Sherin. Sesekali ibunya masih memberi kabar kepadaku melalui surel tentang perjuangan Sherin menyelesaikan pendidikan di tengah keterbatasannya. Terakhir aku mengetahui, dia mengambil jurusan Teknologi Pangan di suatu universitas ternama di Belgia.
Siapa menyangka, gadis kecil itu sekarang hadir di hadapanku dalam wujud seorang wanita muda cantik dan energik. Senyumnya mengingatkanku pada masa-masa awal upayaku membuatnya merasa nyaman di kelas. Aku yakin, memori itu pula yang membekas di ingatannya dan membawa langkah Sherin menemuiku hari ini.
Sebuah undangan
pernikahan yang cantik diberikannya padaku sebelum pulang. “Datang ya, Miss.
Minggu depan, insyaallah, Sherin akan menikah.” Aku mengangguk tersenyum, syukurku
tak terhingga. Oh
Sherin, Miss Wina bahagia untukmu, Sayang, batinku.
SELESAI